Jumat, 20 Desember 2013

RUU Informasi dan Transaksi Elektronik

Latar Belakang Indonesia Memerlukan UU ITE

Hampir semua Bank di Indonesia sudah menggunakan ICT. Rata-rata harian nasional transaksi RTGS, kliring dan Kartu Pembayaran di Indonesia yang semakin cepat perkembangannya setiap tahun. Sektor pariwisata cenderung menuju e-tourism ( 25% booking hotel sudah dilakukan secara online dan prosentasenya cenderung naik tiap tahun)

Trafik internet Indonesia paling besar mengakses Situs Negatif, sementara jumlah pengguna internet anak-anak semakin meningkat.

Proses perijinan ekspor produk indonesia harus mengikuti prosedur di negera tujuan yang lebih mengutamakan proses elektronik. Sehingga produk dari Indonesia sering terlambat sampai di tangan konsumen negara tujuan daripada kompetitor.

Ancaman perbuatan yang dilarang (Serangan (attack), Penyusupan (intruder) atau Penyalahgunaan (Misuse/abuse)) semakin banyak.(sumber :

RUU Informasi dan Transaksi Elektronik

Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik memuat beberapa hal yakni: masalah yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, azas perdagangan secara e-commerce, azas persaingan usaha usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, azas-azas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan Hukum Internasional serta azas Cybercrime.

Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah di susun sejak tahun 2001. Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.

Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR. Pada tanggal 25 Maret 2008 pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) telah mengesahkan undang–undang baru tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Undang-Undang ITE

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UU ITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UU ITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. Beberapa materi yang diatur, antara lain:
  1. pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE);
  2. tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE);
  3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan
  4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE);

Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain:
  1. konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE);
  2. akses ilegal (Pasal 30);
  3. intersepsi ilegal (Pasal 31);
  4. gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
  5. gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE);
  6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);

UU ITE terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi didalamnya. Bagian-bagian UU ITE :
  • Bab 1 : Ketentuan Umum (Pasal 1)
  • Bab 2 : Asas & Tujuan (Pasal 2 – Pasal 3)
  • Bab 3 : Informasi Elektronik (Pasal 4 – Pasal 16)
  • Bab 4 : Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Pasal 12 – Pasal 18)
  • Bab 5 : Transaksi Elektronik (Pasal 19 – Pasal 25)
  • Bab 6 : Nama Domain, Hak Kekayaan Intelektual & Perlindungan Hak Pribadi (Pasal 26 – Pasal 28)
  • Bab 7 : Pemanfaatan Teknologi Informasi Perlindungan Sistem Elektronik (Pasal 29 – Pasal 36)
  • Bab 8 : Penyelesaian Sengketa (Pasal 37 – Pasal 42)
  • Bab 9 : Peran Pemerintah & Masyarakat (Pasal 43 – Pasal 44)
  • Bab 10 : Yurisdiksi (Pasal 45 – Pasal 46)
  • Bab 11 : Penyidikan (Pasal 47)
  • Bab 12 : Ketentuan Pidana (Pasal 48 – Pasal 52)
  • Bab 13 : Ketentuan Peralihan (Pasal 53)
  • Bab 14 : Ketentuan Penutup (Pasal 54)

Yurisdiksi dalam UU ITE

UU ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam UU ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun diluar wilayah hukum Indonesai, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

Yang dimaksud merugikan kepentingan Indonesia adalah meliputi, kerugian yang ditimbulkan terhadap kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan Negara, kedaulatan Negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.

UU ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh WNI, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh Wni maupun WNA atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia,mengingat pemanfaatan TI untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat Lintas Terotorial atau Universal.

Tujuan UU ITE

  • Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari MID (Masyarakat Informasi Dunia)
  • Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  • Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik.
  • Membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan TI seoptimal mungkin dan bertanggung jawab.
  • Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara TI.

Pro dan Kontra UU ITE

Sejak disetujui oleh pemerintah dan DPR pada 25 Maret 2008 dan kemudian diundangkan 21 April 2008 silam, UU ITE sudah disambut pro dan kontra. Dukungan dan penolakan UU ITE juga disuarakan oleh publik, terutama para blogger Indonesia. Suara yang mendukung UU ITE mengatakan kurang lebih bahwa undang-undang tersebut merupakan gebrakan dalam hukum Indonesia. Undang-Undang ITE dilihat sebagai produk hukum yang cukup berani untuk mengatur suatu komunitas atau interaksi masyarakat yang tercipta melalui internet. Demikian antara lain pendapat Robaga G. Simanjuntak, advokat-blogger.

Sementara, mereka yang menolak UU ITE pada umumnya keberatan dengan sebagian substansinya yang dinilai berpotensi mengancam hak kebebasan menyatakan pendapat yang dijamin konstitusi. Karena itu advokat-blogger lainnya, Anggara, dalam salah artikelnya menyatakan di antaranya “UU ITE jelas merupakan ancaman serius bagi blogger Indonesia”.

Di mata Anggara, ada tiga ancaman yang dibawa UU ITE yang berpotensi menimpa blogger di Indonesia yaitu ancaman pelanggaran kesusilaan [Pasal 27 ayat (1)], penghinaan dan/atau pencemaran nama baik [Pasal 27 ayat (3)], dan penyebaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) [Pasal 28 ayat (2)].

Lepas dari berbagai pendapat di atas, substansi tertentu di dalam UU ITE boleh jadi memang perlu mendapat perhatian serius dari para pengguna internet pada umumnya, tidak hanya blogger. Khususnya ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ada tiga unsur yang dikandung Pasal 27 ayat (3) UU ITE yaitu (1) unsur setiap orang; (2) unsur dengan segaja dan tanpa hak; serta (3) unsur mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Dari Pasal 27 ayat (3) UU ITE dapat diketahui bahwa cakupan pasal tersebut sangat luas. Bahkan, perbuatan memberikan taut (hyperlink) ke sebuah situs yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik juga dapat dijerat juga memenuhi unsur ketiga pasal tersebut. Karena itu mungkin dapat dipahami mengapa sebagian orang melihat pasal tersebut sebagai ancaman serius bagi pengguna internet pada umumnya.

Contoh Kasus Pelanggaran UU ITE

Seperti yang kita ketahui, kasus Prita Mulyasari merupakan kasus pelanggaran terhadap UU ITE yang mengemparkan Indonesia. Nyaris berbulan-bulan kasus ini mendapat sorotan masyarakat lewat media elektronik, media cetak dan jaringan sosial seperti facebook dan twitter.

Prita Mulyasari adalah seorang ibu rumah tangga, mantan pasien Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutra Tangerang. Saat dirawat di Rumah Sakit tersebut Prita tidak mendapat kesembuhan namun penyakitnya malah bertambah parah. Pihak rumah sakit tidak memberikan keterangan yang pasti mengenai penyakit Prita, serta pihak Rumah Sakitpun tidak memberikan rekam medis yang diperlukan oleh Prita. Kemudian Prita Mulyasari mengeluhkan pelayanan rumah sakit tersebut melalui surat elektronik yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di dunia maya. Akibatnya, pihak Rumah Sakit Omni Internasional marah, dan merasa dicemarkan.

Lalu RS Omni International mengadukan Prita Mulyasari secara pidana. Sebelumnya Prita Mulyasari sudah diputus bersalah dalam pengadilan perdata. Dan waktu itupun Prita sempat ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang sejak 13 Mei 2009 karena dijerat pasal pencemaran nama baik dengan menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kasus ini kemudian banyak menyedot perhatian publik yang berimbas dengan munculnya gerakan solidaritas “Koin Kepedulian untuk Prita”. Pada tanggal 29 Desember 2009, Ibu Prita Mulyasari divonis Bebas oleh Pengadilan Negeri Tangerang.

Contoh kasus di atas merupakan contoh kasus mengenai pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 pasal 27 ayat 3 tahun 2008 tentang UU ITE. Dalam pasal tersebut tertuliskan bahwa: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan /atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik.

Sumber :
http://rcardiansyah.blogspot.com/2013/05/ruu-tentang-informasi-dan-transaksi.html

0 comments:

Posting Komentar